Rabu, 07 September 2011

Deskripsi Karya Pribadi: Desain Motif Batik Interior Keong Zamrud

Pada dasarnya, pembuatan desain motif batik tidaklah mudah bagi saya pribadi. Hanya berbekal pengalaman masa SMA, saya langsung memberanikan diri untuk daftar Lomba Desain Motif Batik Mahasiswa saat kebetulan membuka website DIKTI. Walaupun pencarian inspirasi memakan waktu cukup lama, tapi akhirnya muncul suatu ide setelah teringat akan cangkang keong saya yang telah hilang sekitar dua tahun yang lalu. Cangkang itu berukuran cukup besar, sekitar satu kepalan tangan orang dewasa. Benda tersebut adalah pemberian dari salah satu teman terbaik saya tapi sayangnya raib tanpa saya sadari saat itu. Dulu, cangkang itu menemani saya setiap saat, terutama ketika sendiri menginginkan keheningan. Biasanya lubang besar cangkang tersebut saya tempelkan di daun telinga. Dan dengan imajinasi tinggi, saya merasa mendengar deburan ombak dari dalam cangkang keong itu. Sungguh menakjubkan, serasa seketika berada di pantai walau raga bukan di sana.

Inspirasi dari cangkang keong tersebut menggugah saya untuk menjadikannya sebuah konsep awal dalam membuat desain motif batik. Pelan-pelan, saya mengingat dengan jelas lukisan alam yang menghiasi cangkang warna cokelat kekuningan itu. Saya merasakan ada motif batik alami yang membangun suatu unit menjadi pola lebih kompleks, unik, dan membuat setiap mata makhluk Tuhan untuk terpesona padanya. Uliran pola yang membentuk spiral pada cangkang keong inilah yang membuat saya berpikir, mungkin pola batik selama ini tertuang karena adanya salah satu makhluk yang memiliki uliran indah tersebut. Di samping itu, jika dihubungkan dengan ilmu eksakta, pola pada cangkang keong dapat dikatakan seperti Fraktal Mandelbrot, yaitu suatu teknik geometri unik yang tersusun atas perulangan dan perbesaran pola yang sederhana menjadi suatu mahakarya bernilai seni tinggi.

Sebut saja Borobudur, suatu hasil budaya leluhur nusantara yang mengikuti alur alam layaknya lukisan alamiah pada cangkang keong. Jika ditelusuri, candi ini hanyalah bangunan sederhana yang menjadi mahakarya Indonesia bahkan dunia lantaran perulangan suatu pola bangunan yang sederhana. Bangunan persegi-bertingkat ini bisa dikatakan sebagai apresiasi secara tidak langsung dari alam Nusantara, yaitu keong yang dapat menjadi sumber inspirasi budaya bangsa kita.

Keong itu sendiri memiliki filosofi terbuka. Menurut saya, perilaku hewan ini bisa dijadikan renungan bagi kita semua. Jika kita amati, keong tak pernah berjalan sangat cepat seperti hewan lain. Setiap langkahnya, walau pelan namun punya tujuan pasti. Seperti kata orang jawa, “alon-alon waton kelakon” yang artinya perlahan-lahan namun pasti. Adanya pepatah ini pun mungkin juga terinspirasi dari makhluk mungil tersebut. Marilah manusia Indonesia, kita budayakan filosofi keong ini dalam hidup kita. Setiap tindakan sebaiknya jangan terburu-buru, tapi dipikirkan secara matang agar hasilnya sesuai dengan keinginan kita. Tak perlu ada emosi dalam setiap langkah, tapi mari kita tempuh hidup ini dengan penuh kesabaran. Mungkin itulah yang tersirat dalam cara berjalan ala keong. Selain itu, cangkang yang keras dan cara refleks keong terhadap ancaman dari luar seakan memberi nasehat kepada kita bahwa proteksi terhadap budaya Nusantara lebih ditingkatkan lagi agar tidak terjadi ‘penculikan budaya’ seperti yang dilakukan negara tetangga terhadap Reog Ponorogo milik kita.


Inspirasi yang tidak terduga datangnya inilah yang membangun desain motif batik. Dari bentuk dan motif keong itu sendiri, saya modifikasi dengan tetap mengedepankan motif batik Nusantara. Saya tidak tahu persis, tetapi dari ilmu yang pernah saya dapat, secara garis besar motif batik kita memiliki 3 dasar bentuk, yaitu garis, ceceg (titik), dan blok. Akhirnya, terciptalah karya batik orisinil oleh saya sendiri dengan judul “Zamrud Keong”, yaitu batik keong yang berwarna (dominan) hijau seperti zamrud khatulistiwa kita. Warna hijau zamrud ini menggambarkan wilayah negara kita terlihat layaknya zamrud yang berada di khatulistiwa. Desain ini sendiri saya peruntukkan menjadi desain interior, misalnya hiasan dinding ruang tamu dan kelambu. Tujuannya adalah pesan yang tersirat dari Zamrud Keong ini dapat tersampaikan kepada semua mata yang memandang. Tetapi tidak menutup kemungkinan bila desain ini bisa dijadikan motif pada busana, misalnya pada gaun pesta yang polos, dibatik bagian atas dada sebelah kiri dengan motif Zamrud Keong dan untuk ukurannya bisa menyesuaikan.


Setelah desain jadi, saya menggambar polanya dengan pensil di kain mori (katun) yang ukurannya sesuai ketentuan sambil mencairkan malam pada wajan kecil di atas nyala api kompor minyak. Saat malam sudah berubah fase, saya memulai membatik mengikuti pola dengan menggunakan canting sebagai alat penuang malam ke atas kain tersebut. Sedikit demi sedikit, malam cair segera membeku cepat dan menutupi pola yang diinginkan.

Seusai langkah tersebut, kini memasuki tahap pewarnaan. Warna yang pertama adalah kuning kunir, yaitu perpaduan napthol ASG dan garam Red B. Mula-mula saya memasak air sebagai pendispersi kombinasi napthol ASG, TRO, dan soda kostik. Sambil menunggu air tersebut mendidih, saya menyiapkan dua bak besar yang bersih. Kedua bak tersebut diisi dengan air keran kira-kira cukup untuk merendam potongan kain yang diinginkan. Salah satu bak diberi Red B hingga garam tersebut larut.

Saat air telah masak, air panas tersebut saya tuangkan hingga penuh ke dalam gayung bersih yang sebelumnya diisi oleh kombinasi yang telah disebutkan di atas (napthol ASG, TRO, dan soda kostik), yang masing-masing dari senyawa tersebut sekitar satu sendok teh. Kemudian koloid tersebut diaduk hingga rata menggunakan sendok plastik (atau apa saja yang penting bukan pengaduk yang terbuat dari logam, karena akan menimbulkan karat). Seperempat dari adonan ini dituangkan pada bak pertama (bukan bak larutan garam) lalu diaduk. Kain yang sudah dimalam tadi dicelupkan seluruh bagiannya pada bak pertama. Setelah itu diangkat kemudian dimasukkan ke dalam bak kedua (berisi larutan garam) hingga tercelup seluruhnya. Di sini, warna kuning akan segera muncul ketika kain dicelup-celupkan hingga rata semua bagiannya. Perlu diketahui, bahwa tidak boleh ada cipratan sedikitpun dari larutan garam ini ke bak pertama yang berisi napthol dan kawan-kawan karena kontaminasi napthol oleh garam akan menyebabkan napthol rusak (tidak terpakai). Oleh karena itu, penempatan kedua bak ini harus berjauhan untuk menghindari hal yang tak diinginkan.

Setelah pencelupan kain pada garam ini selesai, kain dibilas air keran hingga kandungan larutan garam hilang. Lalu tahap di atas diulang hingga koloid napthol pada gayung tadi habis. Seusai bilasan terakhir, kain tersebut ditiriskan (tidak boleh diperas) dan diangin-anginkan (di tempat yang terlindungi dari cahaya matahari secara langsung). Nah, setelah kain ini kering, dilanjutkan dengan membatik tahap kedua, dengan menutup motif (oleh malam) yang rencananya berwarna hijau.


Proses pewarnaan kedua tidaklah beda dengan yang pertama. Hanya saja, untuk mendapatkan warna hijau, saya gunakan pewarna biru mengingat pewarnaan yang pertama adalah kuning. Napthol yang digunakan pada tahap ini adalah AS (disertai TRO dan soda kostik), dengan Blue BB sebagai garamnya. Sedangkan untuk pewarnaan yang ketiga (setelah membatik yang ketiga), saya menginginkan hasilnya nanti adalah hijau kehitaman, maka pewarna yang saya gunakan pada tahap pewarnaan ketiga adalah Napthol ASBO (disertai TRO dan soda kostik) dan garam Blue BB.



Sekian tahap-tahap yang saya lalui, dan untuk memperoleh hasil akhir, maka diperlukan satu tahap lagi, yakni pelorotan (baca: meluruhkan malam). Pada proses ini, dibutuhkan satu bak besar dengan air mendidih di dalamnya. Soda abu yang telah disiapkan kira-kira satu sendok makan dilarutkan pada air tersebut. Setelah itu, kain yang penuh dengan malam tadi langsung dimasukkan ke dalam larutan soda abu panas, diaduk-aduk, dan dikucek seperlunya. Berhubung ini adalah larutan panas, maka digunakan alat bantu seperti kayu atau bambu untuk mengaduknya. Saat seluruh malam sudah luruh, kain tersebut dibilas dengan air keran hingga bersih dan dikeringkan di tempat yang teduh. Nah, jadilah batik zamrud keong dengan goresan putih dan tiga warna, yaitu kuning, hijau, dan hijau kehitaman. Retakan-retakan warna akibat ulah malam turut memberi aksen yang khas pada batik tulis warisan nenek moyang kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar