Jumat, 11 Maret 2011

SISI LAIN PENDIDIKAN INDONESIA: BANGGA MENYONTEK MENJADI BUDAYA?

Pendidikan Indonesia yang dirintis sejak zaman Belanda menjajah kita hingga kini mengalami perkembangan pesat. Seiring berjalannya zaman, penemuan-penemuan dalam berbagai cabang ilmu oleh insan cendikia nusantara mendapat pengakuan oleh dunia. Namun, terlepas dari hal-hal tersebut, kita tak dapat memungkiri bahwa ada satu perilaku yang bisa dikatakan sebagai “budaya illegal” di dunia pendidikan Indonesia, yaitu menyontek. Mulai dari pendidikan dasar, menengah, bahkan di perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok negeri pun masih kita temui perilaku semacam ini. Perguruan tinggi pendidikan negeri yang cukup bergengsi dan ahli dalam menggarap calon pendidik bangsa pun tak dapat menghindarkan peserta didiknya dari perilaku yang tidak mencerminkan jiwa pendidik tersebut. Segala upaya yang telah dilakukan belum mampu mencapai apa yang menjadi harapan ideal.



Apa itu menyontek?
Menyontek merupakan perilaku yang telah dikenal oleh semua orang dan berhubungan dalam pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyontek berasal dari kata contek yang mempunyai makna sama dengan plagiat dan mencontoh, artinya adalah berbuat atau membuat sesuatu menurut contoh, meniru, menjiplak, atau menyalin pekerjaan orang. Di dunia pendidikan, menyontek bermakna perbuatan dimana seseorang atau suatu kelompok melakukan jiplakan karya, pekerjaan, baik dari segi proses maupun hasilnya tanpa memikirkan caranya. Orang atau kelompok yang karya atau pekerjaannya dicontek, bisa jadi dia atau mereka tahu dan mengizinkan, pura-pura tidak tahu, dan atau tidak tahu. Dengan kata lain, jika empunya tidak tahu sama sekali, maka perilaku ini dapat disebut mencuri. Biasanya, motif dari menyontek itu sendiri antara lain ketidakpahaman terhadap materi yang diujikan sehingga membutuhkan bantuan berupa jawaban tanpa pikir panjang. Bila ditinjau dari segi agama dan moral, perbuatan tersebut sudah menyimpang dari kebaikan.
Menyontek juga mempunyai makna lain, yakni suatu perbuatan dimana seseorang atau suatu kelompok melakukan jiplakan hasil karya, pekerjaan tertulis, atau referensi dalam suatu media yang dapat berupa cetakan atau catatan dirinya sendiri maupun orang lain yang bersifat sembunyi-sembunyi dalam suatu ulangan atau ujian. Orang Jawa biasa menyebut perilaku ini dengan sebutan ngerpek. Walaupun ada dua makna untuk perilaku ini, bagaimanapun juga menyontek adalah perbuatan yang seharusnya “haram” dilakukan terutama dalam proses pendidikan di Indonesia, karena keduanya merupakan perbuatan yang mengarah pada kecurangan.
Ujian dan Menyontek
Ujian merupakan usaha untuk mengetahui tingkat pencapaian kompentensi pembelajaran yang sebelumnya telah dilalui. Kegiatan ini dilakukan pendidik secara berkala terhadap peserta didiknya. Kerap kali, siswa maupun mahasiswa mengalami kesulitan saat proses ujian, entah itu karena lupa atau memang tidak memahami konsep. Karena keadaan tersebut, mereka tak segan-segan untuk mencontoh pekerjaan temannya. Ketidakpercayaan pada diri sendiri pun turut andil dalam timbulnya perilaku ini.
Hal yang lebih memprihatinkan yakni adanya suatu dukungan yang mengarah pada perilaku menyontek saat Ujian Akhir Nasional. Walau guru pengawas disumpah pun, mereka tetap berusaha membantu meski bukan siswa mereka sendiri. Hal ini didasari adanya keyakinan bahwa tidak ada salahnya membantu kelulusan siswa, karena rasa kasihan bila ada peserta didiknya tidak lulus yang padahal sudah menempuh pendidikan bertahun-tahun dari kecil dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Maka dari itu, biasanya disepakatilah suatu kerjasama terselubung yang saling menguntungkan antara tuan sekolah dengan pengawas ujian yang berasal dari luar sekolah mengenai hal ini.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menghindari segala macam kecurangan saat ujian pun terus dilakukan hingga saat ini. Sebagai contoh pembuatan soal Ujian Akhir Nasional yang bervariasi di tiap ruang lokasi ujiannya dan adanya pengawas independen dari pihak perguruan tinggi. Meski ini sudah dilakukan sangat ketat, namun tetap saja pelaksanaan ujian tersebut kurang memenuhi tujuan, sehingga terdapat banyak ketidak-validan nilai. Siswa yang biasanya mempunyai nilai ulangan yang terbilang pas-pasan atau bahkan sering mendapat remidi dalam kesehariannya, bisa jadi hasil dari Ujian Akhir Nasionalnya lebih tinggi dari pada nilai siswa yang memang pintar.
Penulis opini pun menyadari akan kekurangan dan kekhilafan atas perbuatannya selama ini. Seperti siswa pada umumnya, dikala masih duduk di bangku sekolah, penulis menjadi subyek dalam perilaku menyontek setiap kali ujian. Penulis tahu persis bagaimana cara mencari kesempatan menyontek teman agar tidak ketahuan guru, dan bagaimana berkilah saat ketahuan melakukan kerjasama dalam mengerjakan soal saat ujian. Semua “metode” dengan segala resikonya pun dilakukan oleh kebanyakan siswa. Pengalaman sekaligus fakta yang terbilang sepele ini jika kita renungi lebih dalam, berdampak pada moral yang akan dibawa tiap siswa di masa depannya. Menyontek, memang solusi untuk jangka waktu dekat, membantu mendongkrak nilai ujian, tapi tidak untuk jangka panjang. Perilaku tersebut mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri sendiri dan bertolak belakang dengan pendirian yang teguh.

Kebanggaan tersendiri
Kebanyakan peserta didik yang “berhasil” menyontek tanpa diketahui oleh pengawas ujiannya merasa “sukses” dalam pencapaian hasil belajarnya. Padahal dua hal tersebut saling bertolak belakang. Kesuksesan yang sebenarnya yaitu jika hasil pencapaian hasil belajar memuaskan, sedangkan jika proses tersebut yang terwakili oleh suatu ujian dilakukan tidak sesuai ketentuan maka kegiatan ini menjadi tidak valid. Dengan kata lain, jika tujuan ujian yang digunakan untuk mengukur kompetensi yang dicapai oleh peserta didik tersebut tidak dilakukan secara mandiri akan menyebabkan ketidakmurnian tingkat pencapaian proses belajar. Alhasil, ujian yang telah dilakukan menjadi sia-sia.
Hal yang cukup memprihatinkan adalah adanya rasa bangga dan puas jika sudah bisa menyontek dan memberi contekan kepada sesama teman dalam ujian tanpa diketahui pengawas. Seringkali sebagai alibi, seorang siswa bahkan mahasiswa pun tak segan-segan mengungkapkan bahwa ia punya rasa sosial yang tinggi untuk membantu sesama dengan cara memberi contekan saat ujian agar dapat memperoleh nilai tinggi. Apakah hal ini merupakan suatu sinyal yang baik bagi pendidikan? Justru sebaliknya, dengan cara yang salah tersebut pendidikan akan melemah jika kebanyakan dari peserta didik melakukan kecurangan. Inilah yang membedakan Indonesia dengan negara lain.

Masihkah Anda menyontek?
Tindakan yang telah dilakukan pemerintah maupun pendidik dirasa sia-sia jika tetap saja ada kecurangan dalam berbagai bentuk ujian, terutama Ujian Akhir Nasional. Apalagi pendidik ikut terlibat walaupun secara tidak langsung, tapi apapun bentuk bantuan yang mengarah pada perilaku ini sebaiknya harus dihilangkan sejak dini. Usaha ini juga membutuhkan kesadaran tiap individu untuk tetap teguh pendirian dan senantiasa percaya akan kemampuan diri sendiri. Jika kita renungi, Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan semua potensi yang ada, tinggal berapa kecenderungan dan bagaimana kita menyiasatinya. Dengan mindset tersebut, mari kita berpikir secara jernih bahwa menyontek itu tak ada gunanya, hanya akan menambah beban mental saat menghadapi masa depan terutama saat memasuki dunia kerja. Walaupun saat pelaksanaan ujian Anda mengalami kebuntuan dalam pencarian inspirasi, sebisa mungkin hindari perilaku menyontek, apalagi kita sekarang sudah menjadi mahasiswa. Belum tentu pula jawaban teman yang kita contoh tersebut adalah benar. Nah, patutkah calon pendidik melakukan kecurangan seperti ini dalam pendidikan? Jika ingin bergantung, kepada Yang Maha Pemberi sajalah kita bertawakal.
Masihkah Anda menyontek, wahai kawan mahasiswa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar